Lagu-Lagu Greyson Chance

Selamat Datang Calon Pembaca Buku-Buku Gokil Gw

Sebelum Melihat-lihat Ruangan di Blog ini, Ada Baiknya Teman-Teman Membaca Terlebih Dahulu Peraturan di Blog ini. Trim's, :)

Senin, 10 Agustus 2020

Ingin Jadi Penulis, Termotevasi Dari Seorang Bocah Berusia 5th Yang Terkena Cerebral Palsy (Cedera Otak)

 Hi Adik-Adik semua tau nggak, dulu kakak adalah anak yang paling pemalu terhadap semua orang. Baik sama teman sekolah, tetangga, maupun kerabat. Soalnya kakak merasa anak yang tercipta tidaklah sempurna seperti anak-anak seusia kakak. Belasan tahun kakak jadi anak yang minder terhadap siapa aja. Sering kali teman-teman berusaha menghibur, namun tak membuat rasa minder itu menjadi pudar.


Mungkin adik-adik ingin tahu kenapa kakak merasa minder pada semua orang? Hal ini disebabkan karena kakak mempunyai kepala Besar, yang lain dari pada yang lain. Sehingga kakak sering di ejek oleh teman-teman yang gak senang dengan kakak. Oleh sebab itu sipat minder menghinggapi diri kakak belasan tahun.

Hingga pada 08 Agustus 2008 silam, kakak melihat seorang anak yang menderita Cerebral Palsy (Cedera Otak). Waktu itu kakak nonton sebuah acara anak yaitu Idola Cilik 2, yang waktu itu sudah tahap 2. Saat itulah kak Oky Lukman selaku Host acara tersebut memperkenalkan seseorang yang sangat hobi menonton acara Idola Cilik. Mulai dari Idola Cilik 1 sampai pada Idola Cilik 2. Saat ia datang keatas panggung kak Oky mulai meneteskan air matanya, ternyata setelah kakak lihat tamu itu adalah seorang anak kecil yang menderita penyakit seperti yang kakak jelaskan tadi. Dan nama anak kecil itu adalah Dewantara Soepardi. Saat itu juga kakak pun tak kuasa menahan rasa sedih. Pertama kakak merasa kasihan melihat umurnya yang begitu muda. Kedua kakak merasa bersalah karena selama ini kakak tidak bersyukur atas apa yang telah Alloh berikan pada kakak.


Namun tak lama kemudian, kak Oky melihat hasil karya Dewa sebuah buku yang bercerita tentang keseharianya. Sayangnya saat itu kakak tidak menemukan buku itu di toko buku tempat kakak tinggal. Hingga pada 02 April 2010 kakak baru menemukan buku itu di salah satu toko buku yang ada di kota tempat kakak tinggal. Gambar diatas adalah Buku yang kakak Maksud. Saat itulah kakak mulai belajar untuk jadi penulis sama seperti Dewa. sejak pertama kali kakak melihat Dewa, kakak sudah menganggap dia sebagai adik kandung kakak. karena dialah yang telah memberi semangat pada kakak agar tidak jadi orang yang minder. terlebih setelah kakak membaca buku hasil karyanya, isinya sangat menyentuh sekali.

Saat ini (sekarang) kakak sedang menyelesaikan Naskah yang mengambil tema tentang keseharian kakak setelah menjadi Penonton Bayaran. Mulai dari saat kakak bekerja sebagai Penonton Bayaran, sampai pada kegiatan kakak disela-sela menunggu acara tempat kakak menjadi Penonton Bayaran berlangsung. Judulnya: The Diary Of  Penonton Bayaran

Pesan Kakak:
Mulai saat ini adik-adikku jangan pernah merasa minder akan hal apa pun juga, dan gali lah potensi yang ada pada diri adik masing-masing. Semoga pengalaman kakak ini bisa menjadi Inspirasi buat adik-adik semua, serta semoga Naskah yang sedang kakak garap bisa terbit, dan bisa dibaca oleh adik-adik nantinya.

Kakak Mohon Doa dari adik-adik...

Kamis, 06 Agustus 2020

Belajar Dari Ibu Pembawa Batu Kerikil

Setelah lama jadi penonton bayaran, aku mulai berpikir rasanya aku nggak akan mendapatkan apa-apa. Kecuali hanya uang Rp.20 ribu dari hasil menonton. Memang dibanding dengan awal pertama kali aku menjadi penonton bayaran, saat itu aku sudah mengalami peningkatan. Karena kami tidak lagi di bayar Rp.15 ribu. Akan tetapi perasaan jenuh sudah mulai menggelayut di hati, membuat aku tidak semangat lagi jadi penonton bayaran. Apalagi kalau ketemu teman atau orang-orang yang suka mengecilkan hati setelah mereka tahu kalau aku hanya bekerja jadi penonton bayaran. Maka rasa malu pun ikut menggelayut di hati.


“Oh jadi sehari-hari kamu jadi penonton bayaran? Kenapa nggak cari kerja yang lain aja?”


“Kalau jadi penonton bayaran mah, nggak bakal maju. Mending kamu cari kerja yang lain aja.”


Kira-kira seperti itulah kata-kata yang sering aku dapat dari orang-orang yang mengecilkan hati. Mungkin niat mereka baik untuk aku, walau kenyataannya mereka nggak bisa berbuat apa-apa untuk merubahku. Tapi, banyak juga yang mendukung dan mendoakanku.


“Nggak apa-apa sementara ini kamu jadi penonton bayaran, nanti juga Allah akan kasih jalan buat kamu. Kalau kamu mau bersabar.”


“Kamu nggak usah malu jadi penonton bayaran, dulu aku juga sama kayak kamu. Lama-lama ada yang nawarin kerjaan ke aku. Kamu yang sabar ya?”


Mendengar itu membuat hati ini terasa adem. Dan karena hari-hari aku makan dan minum memakai uang dari hasil menonton, aku mencoba untuk menahan semua rasa yang ada dalam hati ini. Kalau ada kata-kata negatif yang datang menerpa. Karena aku yakin diluar sana pasti ada orang yang jauh lebih susah dari aku, meski aku merasa seperti orang yang nggak bakal maju.


Tapi, meski setiap saat ada yang ngedoain agar aku harus tetap semangat dalam menggapai mimpi, tetap saja aku merasa minder ama orang-orang yang punya pekerjaan tetap, punya gaji bulanan, yang sering kutemui di busway saat mereka mau berangkat kerja.


Terus kenapa kamu nggak ngelamar kerja aja, biar sama kayak mereka?


Sebab mencari kerja itu nggak semudah yang dibayangkan teman, bahkan hanya untuk menjadi Waitres sekali pun. Tapi, aku akan tetap berusaha untuk berjuang di Kota Metropolitan ini demi menggapai mimpiku jadi Penulis, Aktor, dan Pengusaha, dan masih banyak lagi mimpi-mimpiku yang lain. Cuma ya itu, ternyata untuk meraihnya amat sangat susah ya?


Eh ngomong-ngomong aku udah cerita belum tentang cita-citaku yang banyak itu? Belum kan? Tapi, tunggu ntar aja ya aku ceritanya. Pas aku ngeluarin buku yang kedua aja. Kalau sekarang aku mau cerita tentang keseharianku jadi penonton bayaran dulu. Nggak apa-apa kan teman-teman? hehe.


Sekarang aku lanjutkan cerita yang tadi dulu oke?


Jadi, setiap aku nonton bawaannya bete mulu, rasanya pengen banget menerkam penonton yang lain, terus mencakar-cakar muka mereka. Sayangnya aku bukan Harimau, udah gitu mereka kan nggak salah apa-apa denganku. Jadi, ngapain aku nyakitin mereka, ntar yang ada aku malah masuk penjara. Terus nggak bisa lanjutin bikin buku ini deh, hehe.


Walaupun terkadang memang di studio itu, suka ada yang nyebelin lho. Mentang-mentang dia korlap, kerjanya ngomel mulu kayak burung beok. Yang lebih parah lagi, dia cowok tapi gayanya kayak cewek. Kerjanya ya itu tadi ngomel mulu. Mending kalau cakep, udah muka pas-pasan cerewet lagi *Lho, kok malah jadi ngatain orang yak? xixixi 


Yaudah, sekarang aku lanjut cerita lagi aja ya?


Rasa bete, jenuh, dan segala macam yang menggelayut di hati ini pun akhirnya dapat meredam, bahkan hilang bak ditelan bumi. Ketika aku mendengar cerita dari seorang ibu yang sehari-harinya mecahin batu di gunung, lalu membawa batu-batu yang udah jadi kerikil itu ke bawah.


Ceritanya, waktu itu aku nonton acara YKS (Yuk Keep Smile) di Transtv. Nah, suatu hari tim kreatif acara tersebut mengundang dua orang ibu untuk di wawancara di acara tersebut. Cuma aku lupa di segmen berapa, aku juga lupa ibu yang satunya lagi kerja sehari-harinya apa. Yang aku ingat cuma ibu pembawa batu kerikil itu doang.


Lalu tibalah ka’ Denny Cagur mewawancarai Ibu Pembawa Batu Kerikil itu.


Denny Cagur (DC): ‘“Selamat malam Ibu..?”


Ibu Pembawa Batu Kerikil (IPBK): “Iya selamat malam.”


DC: “Ibu sehari-harinya kerja apa?”


IPBK: “Ngangkutin batu dari Gunung ke bawah”


DC: “Maksutnya gimana itu Bu’?”


IPBK: “Diatas Gunung itu kan kami kerjanya mecahin batu, terus begitu udah jadi kerikil ya kami bawa turun dari Gunung itu”


DC: “Terus berapa uang yang ibu dapat dari hasil kerja seperti itu?”


IPBK: “Hasil dari kerja itu, biasanya kami mendapat upah sebesar Rp.20 ribu”


DC: “Rp.20 ribu itu, dapatnya per hari atau gimana bu?”


IPBK: “Iya, Rp.20 ribu itu kami dapat perhari”


Belum kelar percakapan antara ka’ Denny Cagur dengan ibu itu, aku sudah nggak bisa membendung air mata yang mulai bercucuran di pipiku. Sebab aku merasa bersalah sekali, merasa tak bersyukur atas apa yang telah Allah berikan padaku. Gimana aku nggak merasa bersalah coba, ibu itu hari-harinya dihabiskan dengan memecahkan batu di atas gunung, lalu kemudian membawa pecahan batu tersebut kebawa. Bukan hanya rasa capek yang ibu itu rasakan, tapi juga panas terik matahari di siang hari. Bisa dibayangkan gimana susahnya ibu itu bekerja hanya untuk mendapatkan uang sebesar Rp.20 ribu? Sedang aku hanya duduk manis di kursi, udah gitu pakai AC. Kerjanya juga nggak berat, cuma tepuk tangan dan ketawa-ketawa doang kalau ada yang lucu. Bukanya jauh lebih gampang dibandingkan dengan ibu yang aku ceritakan tadi?


Maka semenjak dari situ, aku selalu berusaha untuk senantiasa bersyukur atas apa yang telah aku dapatkan. Meski hanya bekerja sebagai penonton bayaran. Lagi pula banyak sekali sebenarnya yang aku dapatkan semenjak jadi penonton bayaran. Selain uang Rp.20 ribu, aku juga bisa mengambil pelajaran dari orang-orang yang diwawancarai jadi bintang tamu di beberapa acara tivi. Contohnya ya kayak ibu yang aku ceritakan ini.


Emm.., ngomong-ngomong soal bintang tamu, kalau aku yang jadi bintang tamu dalam sebuah acara. Penontonya bakalan rame nggak ya? Yang jelas, semoga saja penontonnya nggak ada yang kabur di studio, hihihi.


Baiklah, daripada nanti aku kena timpuk orang-orang yang baca buku ini, mendingan aku sudahi saja cerita tentang ibu yang hebat ini. Yang penting isi dan pesannya sudah nyampe sama pembacanya, hehehe.


Pesannya adalah, sekecil apapun penghasilan yang kita dapatkan, harus tetap disyukuri. karena diluar sana masih banyak orang yang jauh lebih susah dari kita.  

Rabu, 05 Agustus 2020

Gara-Gara Pantun Di Eat Bulaga SCTV

Semenjak menjadi penonton bayaran, aku sama sekali tidak menceritakan ini dengan ibuku. Karena aku takut ibu bakal kecewa, masak habis kuliah bertahun-tahun malah jadi penonton bayaran. Maka dari itu aku merahasiakan pekerjaan ini serapat-rapat mungkin, agar ibu tidak kecewa denganku.

 

Terus kalo ibu bertanya aku kerja apa, gimana jawabnya?


Ya aku bilang aja, aku kerja di warung nasi atau nggak aku bilang masih kerja tempat dulu di penerbit buku. Kebetulan dulu aku memang kerja di salah satu penerbit buku yang cukup ternama. Jadi, aku nggak bohong kan? Toh kalaupun aku berbohong, kan tujuannya untuk menyenangkan hati ibu juga. Bukan untuk niat yang lain.


Alhamdulillah, ibu tak pernah tahu kalau sebenarnya semenjak April 2014 silam, aku berkecimpung di dunia hiburan dalam hal ini menjadi penonton bayaran. Dan seperti yang aku bilang di awal-awal, menjadi penonton bayaran memang cita-citaku sejak aku masih kuliah dulu. Meskipun cita-cita ini tidak aku tulis di buku mimpiku yang berjudul “My Dream” Karya Motivatorku sekaligus Orang tua angkatku yaitu Pa’ Bambang Prakoso. Toh pada kenyataanya cita-cita itu tercapai juga. Apalagi kalau mimpi-mimpiku yang lain bener-bener tertulis di buku mimpiku. Aku yakin suatu saat nanti satu persatu akan terwujud. Mohon doanya ya teman-teman?


Kalian mau tahu nggak, Mimpi-Mimpiku yang lain?


Tunggu nanti ya, habis aku menyelesaikan buku yang ini *promosi.com, xixixi 


Setelah sekian lama aku berkecimpung jadi penonton bayaran, lama-kelamaan keseharianku jadi penonton bayaran pun tercium oleh ibuku. Ini terjadi gara-gara aku di suruh pantun oleh ka’ Andhika Pratama untuk ka’ Narji Cagur waktu nonton acara Eat Bulaga di SCTV.


Waktu itu, ka’ Andhika memanggilku untuk turun ke bawah. Aku pun langsung turun dari atas tribun menuju tempat ka’ Andhika. Lalu ka’ Andhika pun bertanya sesuatu kepadaku.


“De’, kamu bisa pantun nggak?” Tanya ka’ Andhika


“Kalau ada contekanya, bisa kak” jawabku malu-malu


“Ya sudah, kalau begitu kakak bikin pantunnya dulu ya, nanti kamu pantun buat ka’ Narji Cagur diluar sana” sambung ka’ Andhika.


“Iya ka’” Jawabku lagi.


Lalu ka’ Andhika meminta waktu beberapa saat untuk menuliskan pantun itu di selembar kertas. Sedang aku berdiri di dekat cameraman yang siap menge shoot mukaku agar kelihatan di layar tv dan juga sama ka’ Narji di luar sana.


Tak lama kemudian, ka’ Andhika pun memberikan selembar kertas itu pada ku supaya aku bisa berpantun untuk ka’ Narji. By the way, kalian mau tahu nggak pantunya kayak apa? Ya sudah, biar kalian nggak penasaran. Pantunnya aku tulis di bawah ini. Mana tahu pantunnya berguna buat kalian ngatain teman-teman kalian yang lain, hehe.


Ini Pantunnya:


“Pak Aji Beli Duren

  Ditaruh Di Atas Panci

  Eh Narji, Lu Nggak Usah Sok Keren

  Muka Lu Kayak Korslet Banci”


Gimana, bagus kan pantunnya?


Sebenarnya, habis aku pantun itu ka’ Narji balas pantun buat ngatain aku juga. Terus aku dibantu ka’ Ivan Gunawan, buat nge balas pantunnya ka’ Narji lagi. Pokoknya jadi tambah seru dech acara berbalas pantun. Dan ini kali pertama aku nongol di tv sambil ngomong lho? *sombong.com, wkwkwk 


Tapi, aku nggak ingat pantunnya ka’ Narji dan ka’ Ivan kayak mana, soalnya ini kan acaranya udah lama banget. Kalo nggak salah sekitar tahun 2014 silam. Tu udah lama kan? Kalau kalian mau tahu pantunnya ka’ Narji Cagur dan ka’ Ivan Gunawan. Kalian tanya aja langsung ama orangnya yak? hahaha.


Setelah itu, ka’ Andhika pun ngasih aku sejumlah uang sebagai hadiah. Enak kan, udah masuk tv terus dapat uang pula, hehe.


Tapi, ternyata eh ternyata. Gara-gara aku pantun itu, ibuku di kampung malah jadi tahu, kalau aku ada di tv. Gara-garanya, pamanku di kampung cerita ke ibu kalau ia lihat aku masuk tv di acara Eat Bulaga itu. 


Sebentar. Tadi paman aku bilang ke ibu kalau aku masuk tv? Apa aku nggak salah dengar ya? Setahuku tv kan nggak ada pintunya, jadi gimana caranya aku bisa masuk tv, xixixi.


Sekarang kita lanjut ya?


Aku pun jadi takut, kalau ibu bakalan nyuruh aku pulang kampung, gara-gara tahu kalau ternyata aku di Jakarta jadi penonton bayaran. Jujur, saat itu aku jadi takut banget. Makanya setiap shalat aku selalu berdoa supaya ibu nggak marah dan nggak nyuruh aku pulang kampung. Pokoknya aku selalu berdoa tentang itu.


Akan tetapi apa yang terjadi? Kira-kira ada yang tahu nggak apa yang terjadi selanjutnya?


Ibuku ternyata malah, em ibu ma….! Aku malu nerusinya. Tapi, kalau nggak diterusin. Kalian pasti penasaran iya kan?


Baiklah, demi kalian akan aku terusin deh, apapun yang terjadi selanjutnya.


Jadi begini, gara-gara aku pantun waktu itu, ibuku malah nanya ke aku begini:


“Nak, emang benar kamu masuk tv, gara-gara jadi penonton bayaran?” kata ibuku nanya serius.


“Iya benar Buk” jawabku sambil gugub.


Terus ibu nanya lagi panjang lebar, membuat aku tambah …… Yaudah kalian baca lagi aja lanjutanya.


“Terus, di tv mana aja kamu nonton, nak? Ibu kan mau lihat juga?”


Mendengar itu aku jadi senang banget, karena ternyata ibu nggak marah meski aku jadi penonton bayaran. Terus dengan semangat aku kasih tahu ibu, dimana saja tempat aku menonton.


“Banyak Bu’, kadang di Transtv, kadang di Trans7, ANTV, dan SCTV”


“Oh, ya sudah nanti ibu akan lihat kamu di tv. Yang penting jaga kesehatanmu ya nak?” kata ibuku menutup percakapan.


“Iya Bu’, doain aja aku sehat terus disini” tutup ku di ujung telp.


Selanjutnya aku nggak takut lagi kasih tahu ibuku kalau aku lagi nonton di acara apa, tv mana kalau ibu telp aku. karena beliau nggak pernah melarangku untuk melakukan apa yang aku mau demi menggapai mimpiku.


Dan buku yang ada pada kalian ini, adalah hadiah sekaligus juga pembuktian buat ibuku. Kalau anaknya ini nggak cuma ngabisin waktu di studio saja, seperti teman-teman yang lain. Tapi, juga berusaha menghasilkan karya dalam hal ini tulisan atau buku. Agar apa yang aku kerjakan selama ini ada hasil yang positif.


Dan buat kalian diluar sana, kalian juga bisa kok memberi kejutan buat ibu kalian. Dari keahlian yang kalian miliki. Asalkan kalian mau menggali potensi yang ada dalam diri kalian, dan juga mau memperlihatkannya pada banyak orang, khususnya pada ibu. Supaya beliau tahu, kalau ternyata kalian adalah anak yang berbakat dan patut untuk dibanggakan olehnya.


Jadi, mulai sekarang ayo cari apa yang mau kalian berikan buat ngebahagiain ibu kalian. Jangan sia-siakan waktu yang terus berjalan.


Pesan yang bisa kita ambil dari sini adalah. Jangan takut memberi tahu apapun yang kita kerjakan pada orang tua kita, khususnya ibu. Selagi apa yang kita lakukan itu positif dan tidak merugikan orang banyak.