Lagu-Lagu Greyson Chance

Selamat Datang Calon Pembaca Buku-Buku Gokil Gw

Sebelum Melihat-lihat Ruangan di Blog ini, Ada Baiknya Teman-Teman Membaca Terlebih Dahulu Peraturan di Blog ini. Trim's, :)

Tampilkan postingan dengan label Belajar Bersyukur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Belajar Bersyukur. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 Agustus 2020

Belajar Dari Ibu Pembawa Batu Kerikil

Setelah lama jadi penonton bayaran, aku mulai berpikir rasanya aku nggak akan mendapatkan apa-apa. Kecuali hanya uang Rp.20 ribu dari hasil menonton. Memang dibanding dengan awal pertama kali aku menjadi penonton bayaran, saat itu aku sudah mengalami peningkatan. Karena kami tidak lagi di bayar Rp.15 ribu. Akan tetapi perasaan jenuh sudah mulai menggelayut di hati, membuat aku tidak semangat lagi jadi penonton bayaran. Apalagi kalau ketemu teman atau orang-orang yang suka mengecilkan hati setelah mereka tahu kalau aku hanya bekerja jadi penonton bayaran. Maka rasa malu pun ikut menggelayut di hati.


“Oh jadi sehari-hari kamu jadi penonton bayaran? Kenapa nggak cari kerja yang lain aja?”


“Kalau jadi penonton bayaran mah, nggak bakal maju. Mending kamu cari kerja yang lain aja.”


Kira-kira seperti itulah kata-kata yang sering aku dapat dari orang-orang yang mengecilkan hati. Mungkin niat mereka baik untuk aku, walau kenyataannya mereka nggak bisa berbuat apa-apa untuk merubahku. Tapi, banyak juga yang mendukung dan mendoakanku.


“Nggak apa-apa sementara ini kamu jadi penonton bayaran, nanti juga Allah akan kasih jalan buat kamu. Kalau kamu mau bersabar.”


“Kamu nggak usah malu jadi penonton bayaran, dulu aku juga sama kayak kamu. Lama-lama ada yang nawarin kerjaan ke aku. Kamu yang sabar ya?”


Mendengar itu membuat hati ini terasa adem. Dan karena hari-hari aku makan dan minum memakai uang dari hasil menonton, aku mencoba untuk menahan semua rasa yang ada dalam hati ini. Kalau ada kata-kata negatif yang datang menerpa. Karena aku yakin diluar sana pasti ada orang yang jauh lebih susah dari aku, meski aku merasa seperti orang yang nggak bakal maju.


Tapi, meski setiap saat ada yang ngedoain agar aku harus tetap semangat dalam menggapai mimpi, tetap saja aku merasa minder ama orang-orang yang punya pekerjaan tetap, punya gaji bulanan, yang sering kutemui di busway saat mereka mau berangkat kerja.


Terus kenapa kamu nggak ngelamar kerja aja, biar sama kayak mereka?


Sebab mencari kerja itu nggak semudah yang dibayangkan teman, bahkan hanya untuk menjadi Waitres sekali pun. Tapi, aku akan tetap berusaha untuk berjuang di Kota Metropolitan ini demi menggapai mimpiku jadi Penulis, Aktor, dan Pengusaha, dan masih banyak lagi mimpi-mimpiku yang lain. Cuma ya itu, ternyata untuk meraihnya amat sangat susah ya?


Eh ngomong-ngomong aku udah cerita belum tentang cita-citaku yang banyak itu? Belum kan? Tapi, tunggu ntar aja ya aku ceritanya. Pas aku ngeluarin buku yang kedua aja. Kalau sekarang aku mau cerita tentang keseharianku jadi penonton bayaran dulu. Nggak apa-apa kan teman-teman? hehe.


Sekarang aku lanjutkan cerita yang tadi dulu oke?


Jadi, setiap aku nonton bawaannya bete mulu, rasanya pengen banget menerkam penonton yang lain, terus mencakar-cakar muka mereka. Sayangnya aku bukan Harimau, udah gitu mereka kan nggak salah apa-apa denganku. Jadi, ngapain aku nyakitin mereka, ntar yang ada aku malah masuk penjara. Terus nggak bisa lanjutin bikin buku ini deh, hehe.


Walaupun terkadang memang di studio itu, suka ada yang nyebelin lho. Mentang-mentang dia korlap, kerjanya ngomel mulu kayak burung beok. Yang lebih parah lagi, dia cowok tapi gayanya kayak cewek. Kerjanya ya itu tadi ngomel mulu. Mending kalau cakep, udah muka pas-pasan cerewet lagi *Lho, kok malah jadi ngatain orang yak? xixixi 


Yaudah, sekarang aku lanjut cerita lagi aja ya?


Rasa bete, jenuh, dan segala macam yang menggelayut di hati ini pun akhirnya dapat meredam, bahkan hilang bak ditelan bumi. Ketika aku mendengar cerita dari seorang ibu yang sehari-harinya mecahin batu di gunung, lalu membawa batu-batu yang udah jadi kerikil itu ke bawah.


Ceritanya, waktu itu aku nonton acara YKS (Yuk Keep Smile) di Transtv. Nah, suatu hari tim kreatif acara tersebut mengundang dua orang ibu untuk di wawancara di acara tersebut. Cuma aku lupa di segmen berapa, aku juga lupa ibu yang satunya lagi kerja sehari-harinya apa. Yang aku ingat cuma ibu pembawa batu kerikil itu doang.


Lalu tibalah ka’ Denny Cagur mewawancarai Ibu Pembawa Batu Kerikil itu.


Denny Cagur (DC): ‘“Selamat malam Ibu..?”


Ibu Pembawa Batu Kerikil (IPBK): “Iya selamat malam.”


DC: “Ibu sehari-harinya kerja apa?”


IPBK: “Ngangkutin batu dari Gunung ke bawah”


DC: “Maksutnya gimana itu Bu’?”


IPBK: “Diatas Gunung itu kan kami kerjanya mecahin batu, terus begitu udah jadi kerikil ya kami bawa turun dari Gunung itu”


DC: “Terus berapa uang yang ibu dapat dari hasil kerja seperti itu?”


IPBK: “Hasil dari kerja itu, biasanya kami mendapat upah sebesar Rp.20 ribu”


DC: “Rp.20 ribu itu, dapatnya per hari atau gimana bu?”


IPBK: “Iya, Rp.20 ribu itu kami dapat perhari”


Belum kelar percakapan antara ka’ Denny Cagur dengan ibu itu, aku sudah nggak bisa membendung air mata yang mulai bercucuran di pipiku. Sebab aku merasa bersalah sekali, merasa tak bersyukur atas apa yang telah Allah berikan padaku. Gimana aku nggak merasa bersalah coba, ibu itu hari-harinya dihabiskan dengan memecahkan batu di atas gunung, lalu kemudian membawa pecahan batu tersebut kebawa. Bukan hanya rasa capek yang ibu itu rasakan, tapi juga panas terik matahari di siang hari. Bisa dibayangkan gimana susahnya ibu itu bekerja hanya untuk mendapatkan uang sebesar Rp.20 ribu? Sedang aku hanya duduk manis di kursi, udah gitu pakai AC. Kerjanya juga nggak berat, cuma tepuk tangan dan ketawa-ketawa doang kalau ada yang lucu. Bukanya jauh lebih gampang dibandingkan dengan ibu yang aku ceritakan tadi?


Maka semenjak dari situ, aku selalu berusaha untuk senantiasa bersyukur atas apa yang telah aku dapatkan. Meski hanya bekerja sebagai penonton bayaran. Lagi pula banyak sekali sebenarnya yang aku dapatkan semenjak jadi penonton bayaran. Selain uang Rp.20 ribu, aku juga bisa mengambil pelajaran dari orang-orang yang diwawancarai jadi bintang tamu di beberapa acara tivi. Contohnya ya kayak ibu yang aku ceritakan ini.


Emm.., ngomong-ngomong soal bintang tamu, kalau aku yang jadi bintang tamu dalam sebuah acara. Penontonya bakalan rame nggak ya? Yang jelas, semoga saja penontonnya nggak ada yang kabur di studio, hihihi.


Baiklah, daripada nanti aku kena timpuk orang-orang yang baca buku ini, mendingan aku sudahi saja cerita tentang ibu yang hebat ini. Yang penting isi dan pesannya sudah nyampe sama pembacanya, hehehe.


Pesannya adalah, sekecil apapun penghasilan yang kita dapatkan, harus tetap disyukuri. karena diluar sana masih banyak orang yang jauh lebih susah dari kita.